Seleb, Jakarta - Dongeng yang dibacakan oleh ayahnya setiap malam ternyata begitu melekat bagi seorang news anchor  Indonesia Morning Show Net TV ini, Shahnaz Soehartono. Meski ia seorang presenter televisi, tidak melunturkan niatnya untuk menceritakan kembali dongeng-dongeng ayahnya itu. Sejak kecil, Shahnaz dan kakaknya selalu mendengar cerita ayahnya yang seorang pilot itu.

Baca Juga: Pelatihan Tempo Institute 2017 Lebih Berwarna

"Aku bermimpi suatu saat bisa bikin buku dan cerita aku dibaca banyak orang. Enggak harus disukai. Aku suka fiksi karena ayahku juga seorang pendongeng buat aku," ujar Shahnaz seusai menjalani sesi kelas terakhir Klinik Menulis Fiksi oleh Leila S. Chudori di Kantor Tempo, Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, Kamis, 9 Maret 2017.

Minat menulis Shahnaz sempat tersalurkan saat ia menjadi wartawan Media Indonesia. Saat itu, Shahnaz mengaku senang menuliskan gambaran detail yang terjadi dalam setiap peristiwa yang ia laporkan. Setiap kali menulis, Shahnaz merasa mendapatkan sensasi dan kepuasan yang berbeda dari pada saat ia muncul di televisi.

Shahnaz sejak dua tahun lalu mulai menuliskan kembali dongeng-dongeng ayahnya itu. Menurut Shahnaz, cerita yang disampaikan ayahnya itu mirip seperti kejadian aslinya. Pasalnya, ayahnya itu selalu mengambil karakter yang tak jauh dari lingkunganya. Namun, Shahnaz belum percaya diri untuk membuka  hasil karyanya kepada publik.

Atas dasar alasan itu, Shahnaz akhirnya memutuskan untuk bergabung di sebuah klinik menulis yang dipandu oleh seorang novelis sekaligus wartawati Tempo, Leila S. Chudori. Kebetulan, salah satu novel karya dari Leila S. Chudori berjudul Pulang merupakan kisah yang paling ia sukai.

“Aku berpikir sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya aku tahu guidance-nya dulu. Itu sama halnya waktu aku mau jadi presenter, aku selalu pelajari dulu dari awal,” ujar Shahnaz, yang memulai karier sebagai model, dengan menjadi Pemenang I dalam pemilihan Wajah Femina 2009.

“Novel Pulang itu cerita pertama yang buat aku menangis di Starbucks sendirian. Ceritanya mirip aku, kisah anak perempuan yang kehilangan bapaknya. Itu salah satu novel yang punya impact. Aku pikir, kalau aku mau belajar ada baiknya aku belajar sama idola aku,” ujar Shahnaz.

Meski pernah kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV), hal tersebut justru tak jadi halangan buat Shahnaz untuk menjajal dunia fiksi. Bahkan, Shahnaz melihat ada korelasi antara konsep visual dengan penyusunan alur menulis. Menurut Shanaz, seluruh visual justru banyak bercerita. Ditambah lagi dengan pengalamannya menjadi seorang reporter dan presenter, hal tersebut menguatkan dia untuk belajar menulis fiksi.

Dalam klinik menulis fiksi tersebut, Shahnaz menulis sebuah kisah bergenre psychological thriller. Lewat karya yang ia tekuni hampir lima pekan tersebut, Shahnaz terkesan dengan pujian dari Leila. Apalagi, cerita pendeknya dinobatkan sebagai salah cerpen terbaik dalam klinik menulis fiksi di Tempo Institute.

Baca Juga: Tempo Institute Tawarkan Beasiswa Pelatihan Rp 164 Juta

"Seru banget selama di kelas," katanya. Selama lima pekan di kelas menulis, Shahnaz mengaku mendapatkan ilmu untuk membuat kerangka sebelum menulis (storyline guidance), mencatat hal-hal kecil untuk ide dalam menulis (journaling), menentukan plot, mengawali cerita (intro), menentukan karakter setiap tokoh, hingga ke deskripsi. Selama ini, Shahnaz mengatakan dirinya tidak pernah berpikir bahwa karakter dalam cerita itu menjadi begitu penting, bahkan untuk pemeran pembantu sekalipun.

“Menulis itu sebuah karya. Itu bikin aku takut terekspose dibanding di depan kamera. Eksposure-nya beda. Di dalam kelas aku merasa seperti ‘ditelanjangi’. karya dibahas rasanya seperti ada ‘adrenalin rush’,” ujar Shahnaz. 
LARISSA HUDA